Rabu, 8 Oktober 2014 - 16:43 wib | Angkasa Yudhistira - Okezone
JAKARTA - Kepala Pusat Hukum dan Humas Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kurnia Toha, meminta DPR segera mengesahkan dua Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang pertanahan dan penghormatan masyarakat pengakuan hukum adat.
Pasalnya, kasus tanah di Indonesia hingga saat ini belum mampu terselesaikan karena banyaknya tumpang tindih peraturan yang mengurusi kasus tanah.
"Undang-undang itu sebagai sarana untuk menyeelsaikan undang-undang yang selama ini tidak harmonis, peraruturan perundangan di tingkat sektoral baik itu kehutanan, sumber daya air, pertanian, dan sebagainya," ujar Toha dalam sebuah diskusi bertajuk Dialog Agraria: Tanah Untuk Kemakmuran Rakyat. Menyongsong Pemerintahan Jokowi-JK, di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (8/10/2014).
"Jadi memang pemerintah dan DPR sudah membahas RUU pertanahan dan penghormatan masyarakat pengakuan hukum adat. Namun UU ini belum selesai dibahas, diharapkan kedua UU segera diselesaiakan," imbuhnya.
Dikatakannya, setidaknya terdapat 60 persen konflik dibidang pertanahan berasal dari tumpang tindihnya peraturan. Karenanya, dibutuhkan pula pemetaan yang jelas atas tanah.
"Menyangkut kehutanan dengan ESDM, peta berbeda-beda. Ini memang diusahakan satu peta, dibawah bidang geopasial. Harus ahli map yang bisa benar-benar diketahui ada masyarakat atau tidak. Tapi juga harus dilihat di lapangan secara langsung," terangnya.
Dengan begitu, tumpang tindihnya peraturan yang ada tentang tanah saat ini, bisa dapat diselesaikan. "Mencoba diikatkan peraturan yang satu dengan yang lain, dengan undang-undang tersebut," pungkasnya.
Selain masalah peraturan yang tumpang tindih, Toha menjelaskan, persoalan lain tentang tanah adalah ketimpangan pemilikan tanah, tidak dihormatinya dan tidak diakuinya hak ulayat masyarakat adat, dan banyaknya sengketa pertanahan.
(ded)
Pasalnya, kasus tanah di Indonesia hingga saat ini belum mampu terselesaikan karena banyaknya tumpang tindih peraturan yang mengurusi kasus tanah.
"Undang-undang itu sebagai sarana untuk menyeelsaikan undang-undang yang selama ini tidak harmonis, peraruturan perundangan di tingkat sektoral baik itu kehutanan, sumber daya air, pertanian, dan sebagainya," ujar Toha dalam sebuah diskusi bertajuk Dialog Agraria: Tanah Untuk Kemakmuran Rakyat. Menyongsong Pemerintahan Jokowi-JK, di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (8/10/2014).
"Jadi memang pemerintah dan DPR sudah membahas RUU pertanahan dan penghormatan masyarakat pengakuan hukum adat. Namun UU ini belum selesai dibahas, diharapkan kedua UU segera diselesaiakan," imbuhnya.
Dikatakannya, setidaknya terdapat 60 persen konflik dibidang pertanahan berasal dari tumpang tindihnya peraturan. Karenanya, dibutuhkan pula pemetaan yang jelas atas tanah.
"Menyangkut kehutanan dengan ESDM, peta berbeda-beda. Ini memang diusahakan satu peta, dibawah bidang geopasial. Harus ahli map yang bisa benar-benar diketahui ada masyarakat atau tidak. Tapi juga harus dilihat di lapangan secara langsung," terangnya.
Dengan begitu, tumpang tindihnya peraturan yang ada tentang tanah saat ini, bisa dapat diselesaikan. "Mencoba diikatkan peraturan yang satu dengan yang lain, dengan undang-undang tersebut," pungkasnya.
Selain masalah peraturan yang tumpang tindih, Toha menjelaskan, persoalan lain tentang tanah adalah ketimpangan pemilikan tanah, tidak dihormatinya dan tidak diakuinya hak ulayat masyarakat adat, dan banyaknya sengketa pertanahan.
(ded)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar